jump to navigation

Benarkah UU ITE Ancam Kebebasan Pers? April 20, 2008

Posted by Mas Wigrantoro Roes Setiyadi in Galery Kebijakan Publik.
trackback

Kolom Pak Leo Batubara di harian Kompas 7 April 2008 bertajuk UU ITE Ancam Kebebasan Pers menarik dan layak didiskusikan dengan jenak, jujur dan jernih agar pemahaman masyarakat terhadap UU ITE tidak keliru.

Jika dikaitkan dengan prinsip kebebasan pers, pertanyaan mendasar yang layak diajukan, apakah pengelola pers, dalam aktivitas kesehariannya memiliki intensi untuk, dengan sengaja dan secara melawan hukum, menghina dan atau mencemarkan nama baik seseorang? Jawabnya, tentu tidak. Artinya, semangat penyelenggaraan pers adalah semangat positif, sebagai elemen bangsa pembawa amanat rakyat, pejuang demokrasi dan ikut serta dalam  upaya mencerdaskan bangsa.

Di pihak lain, pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) saat ini sudah merupakan bagian penting, untuk sebagian orang bahkan merupakan alat bantu aktivitas keseharian, dari aktivitas berbagai komponen masyarakat dan pemerintah. Hal ini terbukti dengan semakin meluasnya penggunaan TIK di berbagai sektor penting dan strategis, seperti dalam kegiatan e-banking, e-government, e-media, e-business serta transaksi ekonomi lainnya.

Seperti halnya semua jenis teknologi, selain untuk kemaslahatan, TIK juga dapat dimanfaatkan untuk perbuatan melawan hukum  yang merugikan pihak-pihak lain. Oleh karena itu, diperlukan upaya legal guna meminimalisasi penyalah-gunaan tersebut.

Salah satu pertimbangan dalam UU ITE (butir d) disebutkan bahwa penggu-naan dan pemanfaatan Teknologi Informasi harus terus dikembangkan untuk menjaga, memelihara, dan memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional berda-sarkan peraturan perundangundangan demi kepentingan nasional.

Mengacu pada itikad penyelenggaraan pers dan pertimbangan dalam UU ITE di atas, sementara dapat disimpulkan bahwa UU ITE tidak dimaksudkan untuk mengancam kebebasan pers. Pertanyaannya, mengapa muncul pasal 27 ayat 3 dan Pasal 45 ayat 1 yang dikhawatirkan Pak Leo? Apakah kekhawatiran tersebtu relevan?

Barangkali kita perlu mengingat kembali bahwa dalam memahami substansi sebuah produk hukum perlu dilihat kontek, karakter, arah dan semangatnya. Memang benar bahwa penggunaan TIK sudah merambah ke hampir semua aspek kehidupan manusia termasuk penerbitan pers. TIK dalam pers tidak hanya digunakan untuk men-dukung aktivitas back office, namun sudah lebih jauh dari itu, untuk mengganti media tradisional, sehingga sajian informasi tidak hanya dapat dibaca melalui media kertas, melainkan juga melalui media elektronik (Internet).

Meski awalnya kontek yang ingin diatur dalam UU ITE adalah transaksi elektronik, khususnya yang terjadi melalui Internet, namun karena sistem elektronik juga dimanfaatkan oleh kalangan pers, maka disadari atau tidak oleh pembuatnya, UU ITE dapat di-ekstend untuk menjangkau ranah pers. Maka, kekhawatiran Pak Leo  cukup punya dasar.

Tetapi, bukankah di dalam Internet siapa saja sudah dapat menjadi sumber informasi? Internet mengubah kemapanan industri pers yang selama ini didominasi oleh penerbit. Jika pada media konvensional, penerbit pers merupakan sentral aktivitas, melalui Internet, setiap orang dapat menerbitkan informasi, melalui blog atau situs pribadi. Media pers juga berubah. Sekarang kita kenal online media seperti detik.com, inilah.com, koraninternet.com, okezone.com, dan lain-lain. Sementara itu, penerbit koran konvensional tidak mau ketinggalan, mereka melengkapi versi kertas dengan versi online. Apa yang disajikan di media cetak, disajikan pula di situs Internet (hybrid media).

Jika dicermati, semangat dari UU ITE terlihat ingin memastikan bahwa siapapun yang menerbitkan infomasi (pengelola situs pribadi/perusahaan, blogger, online media, dan hybrid media) memahami bahwa pemanfaatan TIK berperan penting dalam memajukan peradaban bangsa, pertumbuhan perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sampai batas tertentu, masyarakat, khususnya pengguna TIK,  perlu diatur agar dalam memanfaatkan TIK melakukannya secara aman guna mencegah penyalah-gunaan dan tindak kejahatan. UU ITE juga mengingatkan masyarakat agar dalam memanfaatkan TIK senantiasa memperhatikan nilainilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia.

Kembali kepada kekhawatiran Pak Leo. Penyelenggaraan pers dilindungi oleh peraturan perundangan. Di pihak lain, penyelenggaraan Blog dan situs Internet (pribadi/perusahaan) sebelum disahkannya UU ITE tidak ada perlindungan hukumnya. Jika ada delik pelanggaran pers, pihak pers cenderung memilih berlindung pada undang-undang pers, sebaliknya penegak hukum akan melihat kontek dari pelangaran tersebut, apakah termasuk pidana atau perdata. Dengan disahkannya UU ITE, maka jika informasi yang menjadi dasar delik pelanggaran pers disajikan pula di Internet, permasalahannya dapat menjadi tambah rumit. Undang – undang mana yang akan digunakan untuk menindak terdakwa?

Diakui atau tidak, inilah salah satu kelemahan dari UU ITE. Harmonisasi dengan kerangka hukum yang sudah eksis, barangkali tidak dilakukan secara seksama dalam proses penyusunannya. Digunakannya TIK dalam berbagai aspek kehidupan manusia, mau tidak mau berdampak pula pada kerangka hukum yang melekat pada setiap sektor lainnya. Tumpang – tindih dan keterkaitan antara UU ITE dan undang-undang lainnya tidak dapat dihindarkan.

Di tengah kelemahan yang ada, satu hal yang sebaiknya disepakati, karakter UU ITE tidak dimaksudkan untuk mengancam kebebasan pers, atau mengekang kebebasan individu/organisasi menjadi sumber informasi, melainkan justru melindungi yang lemah dan menghukum pelaku pelanggaran dan kejahatan.**** 

Leave a comment